Diwajibkan bagi seorang wanita untuk berhaji jika dirinya telah memiliki kesanggupan untuk itu berdasarkan firman Allah swt :
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
Artinya : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imron : 97)
Imam an Nawawi mengatakan bahwa kesanggpannya persis seperti kesanggupan seorang laki-laki akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap persyaratan mahram baginya.
Abu Hanifah mensyaratkan keberadaan mahram dalam kewajiban berhaji baginya kecuali dirinya berada diantara rumahnya dengan Mekah sejauh tiga kali perpindahan (persinggahan). Pendapat ini disepakati oleh para ahli hadits dan ahli ra’yi dan juga oleh al Hasan al Bashri dan an Nakh’i.
Atho’, Said bin Jubeir , Ibnu Sirrin, Malik, al Auza’i, dan pendapat yang masyhur dari Syafi’i tidaklah mensyaratkan mahram akan tetapi (diharuskan) adanya keamanan bagi dirinya. Para ulama kami (Syafi’i) berpendapat bahwa keamanan tersebut adalah dengan adanya suami, mahram atau sekelompok wanita yang terpercaya dan menurut kami—seorang wanita—tidak diharuskan baginya haji kecuali dengan adanya salah satu dari mereka semua. Seandainya ia hanya mendapati seorang wanita yang terpercaya maka tidak wajib baginya pergi haji akan tetapi dibolehkan baginya berhaji bersamanya (wanita tersebut), inilah yang benar…
Kemudian Nawawi mengatakan bahwa kata-kata “kecuali bersamanya mahram” adalah dalil bagi mazhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa seluruh yang dikatakan mahram adalah sama dalam hal ini. Boleh baginya bepergian bersama mahramnya dari jalur nasab, seperti anak laki-laki, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-lakinya, anak laki-laki dari saudara perempuan dan yang semisalnya. Ataupun bersama mahram dari jalur susuannya, seperti saudara laki-lakinya sesusuan, anak laki-laki dari saudara laki-lakinya sesusuan, anak laki-laki dari saudara perempuannya sesusuan dan yang semisalnya. Ataupun bersama mahram karena hubungan perkawinan seperti ayah dari suaminya, anak laki-laki dari suaminya dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini. Dan dibolehkan baginya untuk berkholwat (berduaan) dengan setiap dari mereka semua, melihat kepadanya tanpa adanya keperluan akan tetapi tidak dibolehkan melihatnya dengan syahwat kepada salah seorang dari mereka, inilah madzhab Syafi’i dan jumhur ulama.. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz IX hal 146 – 149)
Markaz al Fatwa didalam fatwanya No. 23238 menyebutkan bahwa yang tepat—Wallahu A’lam—bahwa dibolehkan bagi seorang wanita melakukan safar menunaikan ibadah haji dan umrah wajib dengan disertai para wanita yang shalilah dan terpercaya baik ia seorang wanita yang sudah baligh atau belum baligh akan tetapi sudah memiliki syahwat.

0 comments:

Post a Comment

 
Islam.com © 2010-2017. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top